Scroll Ke bawah untuk melanjutkan

Pater Nus Narek,SVD Berbagi Cerita Misionaris pada Misa Menari Khas Afrika

Poros NTT News
Pater Nus Narek, SVD.

Ini menjadi sangat unik karena keduanya menjadi negara di dunia yang memiliki ibukota saling berhadapan langsung dengan jarak yang sangat dekat.

République Démocratique du Congo dengan ibu kota Kinshasa dan Republique Congo dengan ibu kota Brazzaville. Sehingga lazimnya kedua negara ini dikenal dengan nama Congo (Kinshasa) dan Congo (Brazza).

Nama Congo berasal dari nama sungai Congo yang mengalir di sepanjang kedua negara ini. Secara terminologi, nama Congo terbentuk dari “KO” yang berarti melalui, kepada dan “NGO” berarti Leopard – Raja Hutan.

Jadi Congo berarti datang kepada Leopard si Raja Hutan. Orang-orang Afrika pada umumnya percaya bahwa Leopard adalah raja hutan bukan singa.

Kali ini, fokus cerita kita pada Congo Kinshasa. Alasannya, tentu karena saya kerja sebagai misionaris di negara ini.

Yang unik dari negara République Démocratique du Congo atau Congo Kinshasa adalah Pertama, negara ini punya empat bahasa nasional, yaitu Lingala, Kikongo, Tshiluba dan Shwaili dan satu bahasa officiel untuk urusan administrasi yaitu bahasa Perancis.

Baca Juga :  Tradisi Devosi Bulan Mei dan Oktober dalam Agama Katolik

Sebagai seorang misionaris SVD, kami diwajibkan menguasai tiga bahasa yakni Lingala, Kikongo dan Perancis.

Uniknya yang kedua, Situasi Perayaan Ekaristi yang penuh dengan tarian. Orang Congo biasa menyebutnya “Dance Mass”.

Ya, Congo sangat khas dengan Dance Mass dalam setiap perayaan Ekaristi yang dirayakan. Ini tidak hanya di wilayah kota tetapi merambat sampai ke kampung-kampung pedalaman. Sebagai seorang misionaris dan imam, saya mengalami semua perayaan yang dirayakan dengan begitu heboh, meriah, dan semarak.

Mulai dari perarakan masuk, para ajuda, imam, bahkan uskup, para petugas liturgi, dan semua umat, mereka akan menari, berteriak, tepuk tangan, hentak kaki, dan goyang badan.

Itu akan berlangsung sampai lagu penutup. Ada bagian yang sangat heboh terutama saat persembahan. Kita butuh waktu hampir satu jam hanya untuk momen persembahan. Karena umat akan berarak membawa persembahan dari tempat duduknya, dengan sambil menari, masing-masing menghantarkannya ke depan Altar. Kesan saya bahwa suasananya sangat semarak dan penuh sukacita.

Bagaimana refleksinya? Hemat saya, Dance Mass tidak sekedar perayaan untuk senang-senang. Dalam perayaan yang penuh dengan tarian itu, saya menyadari bahwa umat Katolik Congo selalu mengalami Tuhan sebagai sumber sukacita mereka, Wajar.

Baca Juga :  Peziarah Semana Santa Dilarang Membawa Hp Dan Kamera Saat Prosesi, Ini Alasannya

Congo adalah salah satu negara termiskin di dunia. Congo bertahun-tahun dirong-rong perang saudara yang tidak pernah berakhir.

Akses-akses jalan sangat susah. Ekonomi masih morat-marit. Makan, minum, air, listrik, dan lainnya adalah deretan masalah yang menjadi makanan pokok sehari-hari.

Tetapi tidak dengan Perayaan Ekaristi. Karena itu, tidak heran kalau setiap hari, setiap Minggu, setiap perayaan, umat selalu setia datang ke gereja dan memuji Tuhan dengan tari-tarian yang sangat semarak dan penuh sukacita.

Biar kondisi miskin, umat Congo tak sungkan memberi untuk Tuhan.

Mereka membawa dan menghantarkan persembahannya dengan sangat semarak. Tentu ini selaras dengan apa yang disebut Santo Paulus: “Berilah dengan Sukacita!”

Kira-kira begitulah. (Congo – Kin, 31 Juli 2023 – Misionaris Bercerita)