Scroll Ke bawah untuk melanjutkan

Tragika Bangsa Dari Negeri Kaya Yang Didera Kemiskinan Tak Berkesudahan

Poros NTT News

Pemahaman tentang kekayaan pun, tidak meliputi mereka yang memiliki banyak ilmu dan pengetahuan. Sebab kekayaan — dalam ideologi neolib sebagai turunan langsung dari kapitalisme — adalah materi, harga banda dan kekayaan yang punyai nilai duit. Selebihnya, bukan apa-apa. Karena memang dianggap bukan apa-aoa. Sebab dianggap tak bisa berbuat apa-apa.

Justru bisa jadi bulan-bulan bagi mereka, seperti anggapan mereka terhadap seorang guru besar yang hidup sederhana, sering menjadi olok-olok mengapa tidak bisa jaya raya, sehingga jadi terkesan seperti orang miskin.

Begitulah, runyamnya bila orang pintar pun sudah diukur oleh nilai materi yang dia miliki — bukan cuma ilmu dan pengetahuan atau bahkan pengalaman, termasuk yang bersifat spiritual sejali pun — karena takaran ulurannya adalah bilangan dalam bentuk materi. Bukan ilmu, bukan pula pengetajuan.

Jadi pemahaman materialistik yang ditularkan oleh kapitalisme yang telah berhasil mempercantik dirinya menjadi neoliberal pada hari ini, sangat diyakini oleh banyak orang telah melebihi eksistensi Tuhan. Karena Tuhan bagi yang mereka percaya pada  materi — uang — yang diyakini bisa membeli apa saja, termasuk iman dan kepercayaan orang lain, itulah Tuhan mereka yang sesungguh-sungguhnya.

Baca Juga :  Kematian Tak Wajar dan Hegomoni Sosial Media

Cilakanya, meski mereka yang terbeli itu juga paham tentang asal-usul dari kekayaan yang diperoleh orang itu adalah hasil dari maling atau merampok, toh biusan materialisme sudah terlanjur menjadi penyakit yang akut. Jadi kalau cuma sekedar gelar atau prestise sepuhan jadi marak menjadi model Indonesia dianggap wajar,  ini adalah bukti dari terpiuhnya perkembangan budaya yang tidak sehat.

Seperti gelar, jabatan dan kedudukan serta kekayaan yang telah dijadikan  takaran untuk keberhasilan, bukti gagalnya Pancasila menjadi falsafah hidup dan juga ideologi negara Indonesia telah dibiarkan dilindas oleh kapitisme, materialisma yang telah menghasilkan anak dari perkawinan silang mereka yang kini kita sebut neolib itu.

Pendek kata, kedudukan apa saja yang diinginkan guna mendapatkan kekuasaan atau otoritas — seperti duit — seakan bisa dikalkulasi dengan alat hitung yang paling ortodok sekalipun, seperti simpoa yang acap digunakan para toke pedagang kelontong tempo dulu.

Ambruknya etika, moral dan akhlak manusia telah menjadi bencana yang sangat membahayakan dari kemurkaan gunung berapi dan badai angin laut maupun banjir yang datang seperti cerita siluman.

Baca Juga :  Rakyat Indonesia Memilih Pemimpin yang Membawa Sistem Kepemimpinan Strategis Pasca Kepemimpinan Jokowi

Pada gilirannya, siksp tamak dan rakus atau kemaruk itu dapat melipat gandakan kekayaan dengan berbagai cara mulai dari menanfaatkan kekuasaan yang telah digenggam untuk kemudian meningkatkan jabatan dengan pengaruh dan kekuasaan yang  telah digenggam, sehingga makin leluasa untuk menumpuk harta banda yang dapat diperoleh dengan cepat yang cenderung menghalkan semua cara yang bisa ditempuh.

Maka dalam kondisi dan situasi serupa inilah segenap warga bangsa Indonedia yang serius ingin segera kembali pada tatanan hidup dan kehidupan yang normal — bisa membangun etika, moral dan akhlak yang baik — untuk memiliki peradaban yang bagus dan terpuji sebagai contoh serta pelopor memasuki peraban baru di bumi, maka gerakan kebangkitan kesadaran dan pemahaman spiritual harus didukung dan ikut dikobarkan agar penyelamatan bagi bangsa dan negara Indonesia dapat secepatnya terwujud.

Tertundanya gerakan kebangkitan kesadaran dan pemahaman spiritual dari semua bilik serta dari segenap sudut kehidupan, akan mengakhiri semua dera dan derita segenap warga bangsa untuk dapat hidup lebih layak dan majusiawi di negeri kaya raya ini.(**hendrik)

Baca Juga :  Harga Minyak Goreng Naik Berdampak Pada Kesulitan Pengusaha