PRS – Sengketa Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) di Mahkamah Konstitusi (MK) tidak selalu soal perolehan angka suara, melainkan bisa menyangkut aspek lain seperti kecurangan yang terstruktur, sistematis, dan masif (TSM) atau cacat administrasi dari pasangan calon peserta Pilkada.
Praktisi hukum Adhitya Nasution menjelaskan bahwa meski hasil penetapan Komisi Pemilihan Umum (KPU) di tingkat kabupaten/kota maupun provinsi telah diumumkan, itu bukanlah akhir dari proses Pilkada.
“Hasil yang ditetapkan oleh KPU bukan harga mati. Masih ada ruang untuk membuktikan dugaan pelanggaran sebelum Mahkamah Konstitusi memutuskan siapa pemenang dan siapa yang kalah,” ujar Adhitya dalam keterangan tertulisnya yang diterima media pada Jumat malam (6/12/2024).
Adhitya menambahkan bahwa Mahkamah Konstitusi, sebagai satu-satunya lembaga yang berwenang memutus sengketa hasil Pilkada, memiliki kewenangan untuk memeriksa kasus yang tidak hanya terkait perolehan suara.
Ia mencontohkan beberapa kasus sebelumnya, seperti yang terjadi di Sabu Raijua dan Boven Digoel.
“MK dapat memutus sengketa Pilkada di luar substansi angka-angka. Ada peluang sengketa berbasis kecurangan TSM atau cacat administrasi untuk menjadi alasan digelarnya Pemungutan Suara Ulang (PSU) di wilayah tertentu,” jelasnya.