Opini  

Akses Telekomunikasi di Daerah 3T: Jalan Panjang Menuju Pemerataan Digital

Poros NTT News

PSR – Dalam era digital yang terus berkembang pesat, sistem telekomunikasi tidak lagi dianggap sebagai pelengkap, melainkan kebutuhan dasar yang krusial.

Perlu diketahui Infrastruktur telekomunikasi adalah tulang punggung dalam mendukung pemerataan informasi, akses pendidikan, pertumbuhan ekonomi digital, hingga pelayanan publik yang efisien.

Advertisement
Scroll kebawah untuk lihat konten

Namun, di Indonesia, pembangunan sistem telekomunikasi masih menunjukkan kesenjangan yang nyata, terutama antara wilayah perkotaan dan wilayah 3T yakni Tertinggal, Terdepan, dan Terluar.

Wilayah 3T seperti pesisir terpencil Papua, perbatasan Kalimantan, hingga pulau-pulau kecil di Nusa Tenggara  masih menghadapi tantangan serius dalam hal akses internet dan jaringan seluler.

Di banyak tempat, komunikasi dasar seperti sambungan telepon pun belum dapat diandalkan.

Dampaknya masyarakat di daerah ini kesulitan mengakses informasi penting, layanan pendidikan daring sulit dioptimalkan, bahkan koordinasi penanggulangan bencana menjadi terhambat karena lambatnya jaringan komunikasi.

Pemerintah Indonesia telah merespons persoalan ini melalui berbagai kebijakan dan proyek strategis.

Di antaranya adalah pembangunan Base Transceiver Station (BTS) melalui proyek Bakti Kominfo, penggelaran jaringan serat optik nasional lewat program Palapa Ring, serta peluncuran satelit SATRIA-1 yang dirancang untuk memperluas jangkauan internet ke wilayah-wilayah terpencil.

Baca Juga :  Seiklas Awan Mencintai Hujan dalam Menjaga Keseimbangan Alam

Langkah-langkah ini, secara konsep, berada pada jalur yang tepat dan menunjukkan komitmen negara terhadap pemerataan akses digital.

Namun, fakta di lapangan menunjukkan bahwa berbagai inisiatif tersebut masih dihadapkan pada kendala besar.

Medan geografis yang sulit dijangkau, seperti pegunungan dan pulau-pulau terpencil, seringkali memperlambat atau bahkan menghentikan pembangunan infrastruktur.

Selain itu, keterbatasan anggaran, rendahnya ketersediaan tenaga teknis lokal, dan hambatan sosial seperti rendahnya literasi digital menjadi penghambat nyata dalam keberhasilan program-program tersebut.

Lebih ironisnya, banyak proyek infrastruktur telekomunikasi di daerah 3T bersifat simbolik dan tidak mempertimbangkan aspek keberlanjutan.

Misalnya, BTS dibangun tanpa jaringan listrik yang memadai, atau tanpa dukungan infrastruktur penunjang seperti akses jalan dan keamanan.

Akibatnya, BTS tersebut mangkrak dan tidak berfungsi sebagaimana mestinya.

Kondisi ini menunjukkan bahwa pendekatan sektoral tidak akan cukup.

Oleh kerena itu, pembangunan telekomunikasi harus terintegrasi dengan pembangunan sektor lain seperti energi, transportasi, dan keamanan.

Persoalan pembangunan sistem telekomunikasi di daerah 3T juga menyangkut keberpihakan kebijakan.

Baca Juga :  FENOMENA ANTARA ADA DAN TIADA, WABAH COVID-19 TAK ADA AKHIR

Tanpa afirmasi dan konsistensi dari pemerintah pusat dan daerah, pembangunan akan terus bersifat jangka pendek dan reaktif.

Diperlukan keberanian politik untuk memberikan insentif jangka panjang, baik kepada operator seluler maupun kepada investor teknologi yang bersedia membuka akses di wilayah-wilayah marginal.